![]() |
Kabid Hukum Dan Advokasi JMSI, Novermal Yuska |
PONTIANAKNEWS.COM (JAKARTA) - Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dinilai berpotensi akan mengancam kebebasan jurnalis dan juga menutup-nutupi kasus hukum.
Hal ini
diungkapkan oleh Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI)
Novermal Yuska yang mencontohkan seorang jurnalis yang mengungkap rekam jejak
pejabat publik dan bisa dijadikan sebagai delik pidana.
Sejumlah
pasal yang dinilai mengancam kerja jurnalistik antara lain adalah Pasal 4 ayat
2 dan Pasal 64 ayat 4 UU PDP.
“Pasal 4 ayat
(2) huruf d dan Pasal 64 ayat (4) RUU PDP berpotensi mengancam kerja-kerja
jurnalistik dalam meliput suatu sengketa pelanggaran data pribadi di
pengadilan, serta dalam melakukan peliputan mengenai catatan kejahatan
seseorang terlebih pejabat publik,” ujar Novermal pada hari Minggu (25
September 2022).
Pasal 4 ayat
2 UU PDP menyebutkan kategori data pribadi yang bersifat spesifik yaitu: Data
Pribadi yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi: a. Data dan informasi kesehatan; b. Data biometrik; c. Data genetika;
d. Catatan kejahatan; e. Data anak; f. Data keuangan pribadi; dan/atau g. Data
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu,
ada pula Pasal 65 ayat 2 yang menyebutkan "Setiap orang dilarang secara
melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.” Bagi yang
melanggar ketentuan tersebut dapat dikenai denda maksimal Rp4 miliar atau
pidana penjara 4 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat 2 UU PDP.
Dengan
demikian, kata Novermal, oleh karena catatan kejahatan masuk dalam kategori
data pribadi, maka larangan pengungkapan data pribadi pada Pasal 65 ayat 2
tersebut termasuk juga larangan pengungkapan catatan kejahatan.
Menurut
Novermal, hal tersebut menjadi ancaman kriminalisasi bagi masyarakat dalam
proses seleksi pimpinan penegak hukum seperti rekam jejak calon pimpinan KPK.
“Bisa
dibayangkan, di tengah maraknya calon-calon bermasalah melenggang maju pada
proses pemilihan, namun masyarakat dipaksa untuk mendiamkan jika mengetahui
rekam jejak buruknya. Maka dari itu, larangan itu jelas merupakan pembiaran dan
ahistoris dengan permasalahan saat ini. Ditambah lagi, konsep semacam itu
terang benderang melanggar partisipasi masyarakat sebagaimana diatur Pasal 41
ayat (1) dan (2) huruf b UU Tipikor,” kata Novermal.
Selain itu,
di dalam UU PDP menurutnya juga tidak ada harmonisasi dalam kebebasan
memperoleh informasi, kebebasan berekspresi.
"Yang
menjadi sorotan bagaimana perlindungan kebebasan berekspresi dan memperoleh
informasi tersebut. Ini yang tidak diharominasi di undang-undang ini,"
tegasnya. (Sumber : Jaringan Media Siber Indonesia).
Editor : Putri