![]() |
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), H Firli Bahuri |
PONTIANAKNEWS.COM (JAKARTA) – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), H Firli Bahuri menulis satu tema yang sangat menarik Membangun Integritas Parpol Dan Melepaskan Cengkraman Oligarki yamg diterima redaksi pada hari Kamis (9 Juni 2022).
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia (KPK RI), H Firli Bahuri menyebut, Politik Cerdas Berintegritas
merupakan gagasan yang digulirkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk membangun sistem politik yang
sehat, dimana sistem politik tersebut menjadi kunci bagi pembangunan peradaban
bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Ikhtiar ini merupakan upaya KPK mengedor
memori setiap anak bangsa terutama Partai Politik (Parpol) tentang cita-cita
atas demokrasi, kekuasaan dan peran Parpol yang menjadikan antikorupsi sebagai
sistem nilai.
Banyak
orang atau pihak yang sinis bahkan menganggap ini adalah ide yang
utopis, tapi bagi KPK tidak ada yang tidak mungkin, ini adalah ikhtiar yang
harus dijalani, karena KPK sangat meyakini tidak akan ada kerja yang sia-sia.
Apa yang dilakukan KPK dengan mengetuk kesadaran Parpol bukan lah sikap
yang meragukan kecerdasan strategis, kapasitas intelektual dan atau mengecilkan
kemuliaan nilai visi dan misi Parpol manapun. Tapi ini adalah ikhtiar bersama
membangun peta jalan baru, yaitu menjadikan antikorupsi sebagai budaya.
Ada alasan utama kenapa KPK menyasar Parpol
sebagai pilihan strategis dalam membangun politik cerdas yang berintegritas.
Alasan pertama, sepanjang sejarah KPK
berdiri, KPK telah menetapkan sangat banyak tersangka pejabat publik dan
politik dari kalangan Parpol.
Berdasarkan data statistik, dari kasus korupsi
yang ditangani sejak 2004-Januari 2022, total tersangka yang ditangani sebanyak
1.389 orang, diantaranya DPR dan DPRD 310 orang, Wali Kota dan Wakil Wali Kota
dan Bupati dan Wakil Bupati 148 orang.
Gubernur 22 orang, atau sebanyak 480 orang
dari 1.389 total tersangka atau sebesar 34,5 persen. Angka ini belum termasuk
tersangka dari kader parpol di lembaga negara dan kementerian.
Alasan kedua, KPK meyakini untuk berdemokrasi
secara sehat, maka dibutuhkan Parpol yang bersedia melakukan manifesto
antikorupsi untuk seluruh kadernya.
Oleh karenanya, KPK mendorong adanya sistem
politik yang tidak ramah terhadap korupsi. Dengan sistem politik yang menutup
celah dan peluang terjadinya korupsi maka Parpol akan terjaga integritasnya.
Hal ini sangat penting karena Parpol memiliki
peran yang sangat vital dan strategis, dimana Parpol menguasai suara rakyat,
melahirkan wakil rakyat, menghasilkan para pemimpin mulai dari Kades, Kepala
Daerah, DPRD Kabupaten dan Provinsi, DPR dan DPD RI, Pimpinan Lembaga atau Kementrian, hingga Kepemipinan Nasional, serta Parpol
merupakan mesin yang menyusun seluruh regulasi, produk hukum dan politik di
negeri ini.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain
selain mengajak Parpol untuk membangun dan menata sistem politik, dan atas
prasangka baik pula KPK berkeyakinan Parpol bersedia bersama KPK membangun
jalan baru menuju peradaban yang memiliki karakter baru, yaitu politik cerdas berintegritas
yang antikorupsi.
Selain hal diatas, berdasarkan berbagai
kajian dan analisa sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan (baca: tata kelola
pemerintah), KPK berkesimpulan bahwa korupsi terjadi salah satunya disebabkan
oleh sistem yang lemah, buruk bahkan gagal.
Hal ini hanya dapat dicegah atas ikhtiar
segenap elemen bangsa dalam menjalankan berbagai rekomendasi yang telah disampaikan
oleh KPK berupa upaya memperkuat sistem dalam kerangka pencegahan korupsi.
Secara paralel, KPK juga secara masif
mendorong pendidikan antikorupsi terutama dikalangan pelajar terutama siswa SMA
dan SMK, dengan mendorong lahirnya kurikulum antikorupsi sebagai mata ajar
wajib. Pendidikan antikorupsi ini merupakan hal yang fundamental dalam
membangun karakter, budaya serta peradaban antikorupsi.
Memupus Embrio Korupsi
Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan
dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pilkada, telah menjadi bumerang
bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik di
Indonesia.
Biaya mahal dalam politik akan melahirkan
praktik korupsi yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. Karena
keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi 'isi
tas' atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari
penyandang dana.
Tidak mengherankan ketika para politisi atau
pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah
bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar "balik
modal".
Untuk menghindari hal tersebut, maka
diperlukan sebuah sistem yang tidak ramah terhadap korupsi. Hal ini hanya
mungkin dilakukan jika biaya politik tidak lagi mahal. Karena itu Pemerintah
harus memiliki “Political Will” dengan melahirkan regulasi bahkan peraturan
perundang-undangan yang menyediakan alokasi anggaran untuk Pilkada, Pileg dan Pilpres agar biaya
politik menjadi murah.
Beberapa solusi sebagai contoh agar biaya
politik tidak mahal yaitu negara memfasilitasi biaya saksi, biaya kampanye
serta alat peraga, serta dana operasional bagi Parpol.
Hal ini dimaksudkan agar pemimpin dan
pejabat negara yang terpilih merupakan
figur yang berkualitas. Karena dengan tersedianya biaya politik dari negara, maka tidak ada
lagi pilkada, pileg dan pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal,
sehingga pemimpin yang terpilih tidak tersandera kepentingan pihak lain.
Hal yang tak kalah pentingnya yaitu bagaimana
sistem demokrasi dan sistem politik didesain untuk mencegah praktik demokrasi
transaksional, karena ini merupakan pemicu awal perilaku korupsi dikalangan
politisi dan pejabat negara.
Sejatinya prinsip transparansi dan
keterbukaan di era demokrasi harus menjadi pilar utama, karena hal demikian
akan berdampak pada kualitas pejabat publik. Sudah saatnya calon pejabat publik
merupakan sosok yang memiliki kapasitas
yang memadai karena ia dipilih dari proses demokrasi yang secara prosedural dan
substansi berkualitas.
Padahal praktik demokrasi terbuka di
Indonesia sudah berjalan selama 23 tahun. Bila diibaratkan sebuah rumah,
Indonesia hari ini sejatinya sudah bersih, terang dan penuh cahaya, serta tidak
ada lagi ruang kumuh yang tertutup sebagai tempat yang nyaman bagi tikus dan
kecoa.
Tapi pada kenyataannya korupsi masih terjadi
secara masif bahkan cendrung meningkat baik jumlah maupun derajat daya rusak
yang diakibatkannya. Hal ini terjadi oleh tiga penyebab utama. Pertama, masih
ada masalah dalam regulasi. Kedua, ada masalah dalam pelembagaan demokrasi.
Ketiga, budaya antikorupsi belum tumbuh subur dan mapan di tengah masyarakat
kita. Gagasan ini bukanlah didasari atas
pretensi politik, apalagi pretensi politik praktis. Ini bukan pula berupaya memasuki ranah kamar
politik atau kamar kekuasaan yudikatif.
Gagasan ini semata-mata lahir dari perenungan
dan pergulatan batin yang panjang atas keprihatinan dengan kondisi aktual di
daerah. Banyak laporan dan keluhan yang
menyoal mahalnya biaya pemilihan umum yang kemudian mendorong lahirnya perilaku
koruptif.
KPK kerap menyerap informasi dan keluhan
langsung dari rumpun legislatif dan eksekutif di daerah yang mengeluhkan biaya
Pilkada yang sangat mahal sehingga membutuhkan modal besar.
Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi
membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang hal
yang pertama menjadi misi seorang kepala daerah adalah balik modal. Di sisi lain mencari bantuan
modal dari “bohir politik” akan mengikat politisi di eksekutif dan legislatif
dalam budaya balas budi yang korup.
Data di KPK menunjukkan 82,3 persen calon
Kepala Daerah mengaku memiliki donatur. Mayoritas dari mereka kemudian berupaya
melakukan korupsi sebagai bentuk balas budi. Dimana 95,4 persen balas budi pada
donatur dalam bentuk kemudahan memperoleh perizinan terhadap bisnis yang telah
dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam
tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa).
Lebih menariknya, kesadaran dan informasi ini
diperoleh KPK dari para Gubernur, Bupati
dan Walikota serta anggota legislatif.
Mereka menyadari, dorongan korupsi akan sangat tinggi jika biaya politik sangat
mahal.
Prinsip balik modal dan balas budi pada
donatur membuat kepala daerah dan anggota legislatif akan menciptakan birokrasi
yang korup, karena mereka mencari pengganti sebagai wujud balas jasa dari kas
negara.
Guna mewujudkan semua hal itu, maka titik
krusial untuk melahirkan satu tatanan Pemerintahan yang ideal yaitu
terbangunnya Good Governace and Clean Goverment, dimana akselerasi
mewujudkannya akan sangat ditentukan ikhtiar dan peran strategis Parpol dan
legislatif.
Krusial karena legislatif merupakan
representasi dari kepentingan Parpol (baca: elit parpol), yang merupakan tempat
disusunnya semua regulasi, produk hukum dan politik hukum.
Dengan demikian, kualitas produk regulasi,
hukum dan politik hukum sangat ditentukan bagaimana Parpol melakukan rekruitmen
dan menyiapkan calon legislatif, serta seperti apa kepentingan Parpol atas
setiap produk regulasi, hukum dan politik hukum yang dilahirkan melalui lembaga
legislatif, baik dalam menjalankan fungsi legislasi dan anggaran, termasuk
fungsi pengawasan.
Oleh karena itu, reformasi Parpol menjadi
sangat penting. Hal ini akan menjadi variabel utama untuk menahan bangunan
demokrasi yang hampir roboh. Meskipun perubahan ini hanya bisa dilakukan
melalui revisi Undang-undang.
Pilihannya hanya dua, apakah ingin menjadi
pelaku sejarah atau hanya sekedar menjadi penonton. Masa depan bangsa Indonesia
sepenuhnya ada di tangan Parpol, karena apa yang kita lakukan saat ini akan
menjadi penentu masa depan bangsa ini ( The Future Depends on What We Do at
Present).
Oleh sebab itu, demokrasi, kekuasaan dan
Partai Politik, diharapkan terus melakukan perubahan dan perbaikan bertahap
sebagaimana proses evolusi yang secara paralel dan simultan berdampingan dengan
cita-cita terwujudnya karakter politik baru, yaitu politik cerdas berintegritas
yang antikorupsi dan bebas dari belitan kekuatan jahat oligarki.
Kita tidak boleh menyerah apalagi kalah oleh realitas. Perubahan sangat
diperlukan, saat ini juga. Sehingga budaya antikorupsi akan menjadi sistem
nilai yang menjadi pilihan hidup baru atau jalan politik baru. Sehingga cita-cita
Indonesia yang cerdas, sejahtera, aman adil dan makmur serta demokratis menjadi
kenyataan. (Sumber : Jaringan Media Siber Indonesia)**
Penulis adalah Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.