![]() |
Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Barat (Kalbar), Lasarus |
PONTIANAKNEWS.COM (PONTIANAK) - Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Barat (Kalbar), Lasarus mengucapkan Selamat Hari Lahir Pancasila. Menurutnya momentum ini merupakan peringatan ketika Bung Karno menyampaikan pidato di hadapan sidang BPUPK.
"Saat itu, Pidato bung Karno berusaha
untuk menjawab pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat tentang filsafat yang
sedalam-dalamnya, pandangan hidup Indonesia Merdeka, dan jiwa bangsa,"
kata Lasarus melalui keterangan tertulis, 1 Juni 2022.
Ketua Komisi V DPR RI itu juga mengingatkan
bahwa Pancasila adalah historis penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Untuk itu, menurutnya Pancasila harus benar-benar diajarkan dan diamalkan
generasi bangsa ini.
"Hari Pancasila Ini adalah sejarah
bangsa yang sangat penting, untuk itu agar terus digaungkan kepada generasi
bangsa agar tidak lupa terhadap sejarah 'Jas Merah'," kata dia.
Bahkan menurut Lasarus, Pancasila tidak hanya
mapan untuk Ideologi Nasional, tapi konsep Pancasila juga sangat penting jika
diterapkan oleh negara-negara beradab, agar dapat menjamin terciptanya
perdamaian dunia.
"Hal itu kita bisa melihat bukti
sejarah, bahwa tanpa keberadaan Pancasila, tahun 1955 tidak akan terlaksana
Konferensi Asia Afrika dan Konferensi Gerakan Non-Blok. Dua konferensi tersebut
terlaksana berkat gagasan dari Indonesia," tuturnya.
Berikut Kutipan pidato Soekarno pada 1 Juni
1945 disadur dari WartaKota:
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut
anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya,
maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk
mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan
Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia?
Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada
sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka.
Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah
berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan
permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia
Merdeka.
Menurut anggapan saya, yang diminta oleh
Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische
grondslag” dari pada Indonesia merdeka.
Philosofische grondslag itulah pundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya
untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.
Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka
tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan,
memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan
perkataan ,,merdeka”.
Merdeka buat saya ialah: “political
independence, politieke onafhankelijkheid . Apakah yang dinamakan politieke
onafhankelijkheid? Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya
banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam bahasa
asing, ma’afkan perkataan ini – zwaarwichtig” akan perkara yang kecil-kecil.
“Zwaarwichtig” sampai -kata orang Jawa- “njelimet“.
Jikalau sudah membicarakan hal yang
kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat!
Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah
kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi
bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya,
samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi
Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika
merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya
merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita
berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu
selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan
sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80 % dari rakyatnya terdiri kaum
Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan
tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan
pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa
otomobil perlu minum bensin.
Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih
makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia
merdeka!
Lihatlah pula – jikalau tuan-tuan kehendaki
contoh yang lebih hebat – Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara
Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas?
Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia,
adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80 % tidak dapat membaca dan menulis;
bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller,
tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin
mendirikan negara Soviet itu.
Dan kita sekarang di sini mau mendirikan
negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya
punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya
dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua
hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan
mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia merdeka, kita
semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, – sampai di lobang kubur!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan
merdeka? Di dalam tahun ’33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang
bernama ,Mencapai Indonesia Merdeka”.
Maka di dalam risalah tahun ’33 itu, telah
saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political
independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya katakan di
dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita
punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu
malam, – in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud
mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan
6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn saud, maka di seberang
jembatan, artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki
masyarakat Saudi arabia.
Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar
membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui,
diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk
bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani,–semuanya di seberang
jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara
Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff (suatu kawasan industri
di mana terdapat bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan di situ dibangun
stasiun pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian
Soviet Rusia (ket. – LSSPI), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah
mempunyai radio-station, yang menyundul ke angkasa?
Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api
cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada
waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis?
Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang
jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-
station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan
Djnepprostoff!
Maka oleh karena itu saya minta kepada
tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah
mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau
sudah selesai, baru kita dapat merdeka.
Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya
semangat, – jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita
yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2
milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan
riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin
rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal
semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan?
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah
menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan
nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG“. Bahkan 3 kali
sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang , sekarang ! (Tepuk tangan
riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk
menyusun Indonesia merdeka, – kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!.
Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political
independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah
satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini
diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan
diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti
dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti
dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat
political independence, politieke onafhankelijkheid, – in one night, di dalam
satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun,
semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, sekarang ! Jikalau umpamanya
Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada
saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke-
rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima
urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat
sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka
satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu,
sekarangpun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka! (Tepuk tangan
menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada
perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang
isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup
mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan
negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya.
Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya,
kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa
telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan
dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan.
Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan
bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air
kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk
merdeka. (Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan
memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara!
Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani
kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin.
Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin,
tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada
permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang
mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai
ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai
meja satu, kursi empat, yaitu ,,meja-makan”, lantas satu zitje, lantas satu
tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu,
yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan
tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug:
kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur:
kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat
tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig,
belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang
mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu
periuk, saudara-saudara! (Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian:
kita ini berani merdeka atau tidak ? ? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka
tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum
saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka.
Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa
hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau
mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah
kemerdekaan.
Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang
Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum
kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur
kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (Tepuk tangan riuh).
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita
memerdekakan rakyat kita ! ! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita
memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud
memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin
memerdeka–kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang
pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit
malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu.
Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan
lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdekaitulah
kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi
kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria
dengan menanam ketepeng kerbau.
Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih
pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita
menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan,
jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa
menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian!
Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha
penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh
berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum
internasional, menggampangkan pekerjaan kita?
Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu
negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet,
tidak! Syaratnya sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup
untuk internationalrecht.
Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada
rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain,
yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat
baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli
rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai
syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada
pemerintahnya, – sudahlah ia merdeka. Janganlah kita gentar, zwaarwichtig,
lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi
saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadirin:
Mau!)
Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan tentang hal,merdeka,
maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti
apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta
philosophischegrondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang
muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung“, di
atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak
negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu
berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas
“national-sozialistische Weltanschauung“, – filsafatnasional-sosialisme telah
menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin
mendirikan negara Soviet di atas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische,
Historisch-materialistische Weltanschaung.
Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di
atas satu “Weltanschauung“, yaitu yang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin“.
Diatas “Tennoo Koodoo Seishin” inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi
Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”,
bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh
paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak
mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini
sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita,
sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja
mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja
mati-matian untuk me”realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu.
Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar
perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak
sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut
keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed:
“Soviet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, – John Reed, di
dalam kitabnya: ”Ten days that shook the world“, “sepuluh hari yang
menggoncangkan dunia” -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10
hari, tetapi “Weltanschauung“nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar
direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung”
yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam
revolutie 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di “generale-repetitie-kan”.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah
mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” dari
pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschaung” itu
disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari,
sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara
baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” yang
telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana
kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische
Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya
“Weltanschauung” itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan
1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme
ini, “Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munschener Putsch“,
tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut
kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung”
yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak
mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan:
Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah
San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan
negara Tiongkok merdeka, tetapi “Weltanschauung“nya telah dalam tahun 1885,
kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three
people’s principles” San Min Chu I, – Mintsu, Minchuan, Min Sheng, –
nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen
Weltanschauungitu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru
di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia
merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah,
San Min Chu I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah
bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, – macam-macam –
, tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes
Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham.
Kita bersama-sama mencari persatuan
philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang k i t a semua
setuju. Saya katakan lagi setuju ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes
setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno
setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu
modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu
hal yang kita ber-sama – sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya:
Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk
sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja
Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk
memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada
satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak!
Baik saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan.
Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”.
Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua
buat semua“. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi.
Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam
beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak
tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan
dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara kebangsaan
Indonesia.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan
saudara-saudara Islam lain: Maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini!
Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah
saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat
Indonesia ialah dasar kebangsaan .
Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti
yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionale staat, seperti yang saya
katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu
Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit.
Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo
katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah
orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang
tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang
dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara
Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu
diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh
sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan
mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya
bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak
akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest
Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble“, yaitu kehendak akan
bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu
gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu
definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, di situ
ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine
aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”.
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa
adalah satu persatuan perangai yang timbul karenapersatuan nasib). Tetapi
kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan,
maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd”, sudah tua.
Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest
Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab
tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu
wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan
tempat”.
Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan
sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat
dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya.
Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya.
Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan
perasaan orangnya, “l”ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak
mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah
tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air .
Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah
S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia,
kita dapat menunjukkan dimana “kesatuan-kesatuan” disitu.
Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat
peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu
kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan
gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan
Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang
anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes,
Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil
diantaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat
melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir
Timur benua Asia sebagai “golf breker” atau pengadang gelombang lautan Pacific,
adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah
India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang
luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa
kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan
sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah S.W.T. demikian rupa. Bukan
Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene
plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani,
adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah
tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah
air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau
Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi
segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah S.W.T. menjadi suatu kesatuan antara
dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara
orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang
dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre
ensembles”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus schiksalsgemeinschaft
erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.
Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh
Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada “desir d’entre
ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga.
Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan,
melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun
adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya satu bahagian
kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan
“le desir d’etre ensemble”, tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada
satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie
Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir
d’etre ensemble” diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau
Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh
manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t.,
tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau
Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya! , karena antara
manusia 70.000.000 ini sudah ada ” le desir d’etre ensemble“, sudah terjadi
“Charaktergemeinschaft“! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia
jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu,
satu, sekali lagi satu ! (Tepuk tangan hebat).
Ke sini lah kita semua harus menuju:
mendirikan satu Nationale staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung
Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara
tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan
“golongan kebangsaan“. Ke sini lah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa
tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan
Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu
nationale staat.
Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia,
bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut
Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan
Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga
Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di
tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya
2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman
Majapahit.
Di luar dari itu kita tidak
mengalaminationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya
raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat.
Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi
di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan
persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya
di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat.
Dengan perasaan hormat kepada Sultan
Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa
tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya ,
yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita
harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah
kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali, atau lain-lain,tetapi kebangsaan Indonesi, yang bersama-sama menjadi
dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan
kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan
fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat
seorang pemimpin Prancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie.
Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire
Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama.
Hak politiek yang sama, tiap orang boleh
memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalamparlement. Tetapi adakah Sociale
rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata
lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam Parlement
dapat menjatuhkan minister.
Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya
tempat bekerja, di dalam paberik, – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia
dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu
apa”. Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita
mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang
memberi hidup, yakni politiek–ecomische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini.
Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil,
ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya
merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di
dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu,
jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia,
marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja
persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita
harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang
kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie
saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip:
politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini
bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi,
segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada
negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh
karena monarchie “vooronderstelt erfelijkheid“, – turun-temurun.
Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya
orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala
negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara,
baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali
kita mengadakan kepala negara, kita pilih.
Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo
misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan
anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti
Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip
monarchieitu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya
telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, – atau
peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, – atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan!
Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut
petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara
yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik
Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang
berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan
sebagian hadlirin).
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang
cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa
pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka
yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari
pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti
yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan
berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia
Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan azas yang kelima
inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini,
akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita
mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah
saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma
tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar.
Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya.
Jari kita lima setangan.
Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang
lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima orangnya.
Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya
namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca
Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita
mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang
tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja.
Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu?
Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia
Merdeka, Weltanschauung kita.
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan
internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu:
itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme .
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat,
tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan
sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan
pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi
ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi
tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang
kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua
Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah,
saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita
mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat
semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan
Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi
Indonesia buat Indonesia, – semua buat semua!
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga,
dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang
tulen, yaitu perkataan gotong-royong . Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong! (Tepuk
tangan riuh rendah).
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis,
lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu
faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal,
satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo,
satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama-sama!
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang
bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal
semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuk
tangan riuh rendah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan
yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan
Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah,
saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi
Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila,
ekasila ataukah pancasila?
Isinya telah saya katakan kepada
saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada
saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan
tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa,
kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara.
Di dalam masa peperangan itulah kita
mendirikan negara Indonesia, – di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya
mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita
mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di
bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan.
Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang
gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan
negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap
syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan
oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakannoodmaatregel,
peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang
kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila.
Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara,
itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau
tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk
Weltanschauung itu.
Untuk membentuk nasionalistis Indonesia,
untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam
peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk
ke-Tuhanan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak
berpuluh-puluh tahun.
Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak,
terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya,
bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi
realiteit dengan sendirinya.
Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi
kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan! Jangan pun
Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler,
oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! “De Mensch“, — manusia! –, harus
perjoangkan itu.
Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi
realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh
rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan
bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak!
Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu:
zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita
agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan
perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di
atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia
yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di
dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma
zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin
supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau
kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali-teit yang merdeka, ingin
hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan,
ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale
rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang
luas dan sempurna, –janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya,
ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi perjoangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara
Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya
berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan terus,
hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya.
Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang
bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di
dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah,
insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka
tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, — tidak berani
terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau
bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad mati – matian untuk mencapai
merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia
buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat
dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, —
merdeka atau mati”! (Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara!
Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan
Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang
lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena
saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap
“verschrikkelijk zwaarwichtig” itu. Terima kasih! (Tepuk tangan riuh rendah
dari segenap hadirin)." (tim liputan).
Editor : Putri