![]() |
Khalid Zabidi, Aktivis 98, Pendiri Independent Society dan Ketua Bidang PP JMSI |
PONTIANAKNEWS.COM (JAKARTA) - Bulan Mei adalah bulan penting dalam kalender politik bangsa Indonesia. Pada bulan ini kita merayakan hari kebangkitan nasional sebagai momentum kesadaran kolektif berbangsa, dan hari reformasi 1998 di mana kita meluruskan perjalanan sejarah tidak didasarkan pada sistem otoriter melainkan demokrasi.
Tetapi bulan Mei tahun 2022 ini lain dari
bulan Mei tahun sebelumnya. Eskalasi konflik Rusia dan Ukraina meningkat
menjadi perang dagang berskala global antara orde politik internasional liberal
yang dipimpin Amerika dan Eropa Barat serta orde nasionalis yang berporos pada
Rusia, Tiongkok dan Iran. Kubu Amerika menghantam Rusia dengan berbagai sanksi
politik dan ekonomi sebagai balasan atas Pemerintah Kremlin yang menginvasi
Ukraina dengan dalih demiliterisasi dan denazifikasi.
Kubu Rusia melawan balik dengan mengancam
menghentikan pasokan gas ke Eropa Barat terutama Jerman yang bersifat ambivalen
di tengah sikap keras Amerika. Rusia berhasil membuat Eropa kebingungan untuk
membayar pembelian gas dengan mata uang Rubel alih-alih menggunakan Dolar.
Harga migas pun melambung tinggi diikuti harga komoditas pangan global seperti
gandum, yang tentu saja berpengaruh pada Indonesia sebagai negara importer
komoditas energi dan pangan.
Konflik Rusia-Ukraina yang bereskalasi
menjadi perang dagang global berimbas pada stabilitas regional di Asia Pasifik,
khususnya dalam hubungan negara-negara yang menjadi mitra dagang Amerika, Rusia
dan Tiongkok. ASEAN misalnya, terpecah dalam menyikapi invasi Rusia ke Ukraina
di mana Malaysia, Filipina dan Singapura bersikap tegas menolak invasi,
sementara Indonesia sebagai pendiri dan negara ASEAN terbesar bersikap
ambivalen. Indonesia menyatakan menyesalkan konflik Ukraina, namun tidak secara
tegas mengutuk Rusia. Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan G-20 bahkan
bersikukuh mengundang Rusia sebagai salah satu anggota tetap yang dianggap
penting G20 walaupun Amerika, Inggris dan Kanada mengancam tidak hadir dalam
pertemuan tersebut.
Tiongkok sebagai salah satu negara super
power dan memiliki hubungan erat dengan
Rusia melanjutkan sikap asertifnya dalam isu Laut Cina Selatan (LCS). Sementara
negara-negara ASEAN didukung Amerika, Australia dan Jepang mempertahankan
kebebasan melintas (freedom of
navigation) di LCS, Tiongkok tetap menekan ASEAN untuk mencari jalan tengah
tentang klaim ‘Sembilan Garis Putus-putus’ (Nine Dash Line). Tiongkok sendiri
meningkatkan latihan militernya di wilayah perairan Taiwan, dan beberapa kali
melintasi udara beberapa saat setelah Rusia mengumumkan operasi militernya di
Ukraina.
Krisis Kapitalisme Dan Demokrasi
Konflik global hari ini sudah diprediksi
jauh-jauh hari sebelumnya. Huntington (1991) meramalkan akan adanya benturan
peradaban antara Barat dengan demokrasi liberal dan kapitalismenya melawan yang
lain (the West versus the Rest). Dunia setelah runtuhnya Komunisme menjadi
unipolar di mana Amerika dan Barat menjadi pemimpinnya, sekarang menjadi
multipolar karena banyak kekuatan emerging yang mampu mengimbangi dominasi
Barat.
Titik balik perubahan keseimbangan global itu
terjadi saat dunia dilanda krisis finansial global tahun 2008. Yang luput dari
perhatian publik, krisis tersebut dipicu perang dagang antara blok Amerika
melawan Rusia dan Tiongkok. Tiongkok diuntungkan dalam perang dagang tersebut
dan menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dengan pertumbuhan dua digit,
sementara Rusia terkena hantaman keras. Rusia membalasnya dengan mengambil alih
Republik Krimea pada awal tahun 2014 dari Ukraina karena merasa terancam dengan
sikap elit politik Ukraina yang hendak menjadi anggota Uni Eropa dan pakta
pertahanan NATO.
Peradaban Barat mengalami tantangan paling
berat sejak peristiwa tersebut. Sebelumnya menurut Fukuyama (1992), keruntuhan
komunisme dipandang sebagai kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Namun
Fukuyama dalam buku terbarunya ‘Liberalism and Its Discontents’ terbit pada
Maret 2022, orde liberal dunia mendapatkan tantangan keras dari segala hal yang
merupakan versi ekstrem dari prinsip-prinsipnya sendiri.
Maka kita bisa melihat bagaimana kapitalisme
mendapat tantangan dari nasionalisme ekonomi, demokrasi liberal yang elitis
menghadapi ancaman populisme. Demi mempertahankan stabilitas politik dan
ekonomi, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping
menggunakan jargon nasionalisme untuk melawan hegemoni Amerika, sembari
mengubah konstitusi agar tetap mempertahankan kekuasaan otoriter mereka.
Bahkan Turki yang merupakan anggota NATO dan
sekutu Amerika, mengubah konstitusi mereka sehingga Erdogan melanjutkan
jabatannya dari Perdana Menteri menjadi Presiden dengan kekuasaan eksekutif,
dan AKP sebagai partai beraliran Islamis dan kebijakan ekonomi pasar tetap
menjadi partai penguasa dominan.
Krisis tidak hanya terjadi terhadap sistem
politik dan ekonomi Barat. Sistem masyarakat mereka yang bercirikan
individualisme menghadapi guncangan saat dunia dilanda pandemi Covid-19. Saat
Tiongkok sukses menekan penyebaran wabah tidak lama setelah merebak pada awal
tahun 2020, Amerika dan Eropa menghadapi protes keras warga yang tidak mau
lockdown dan menerima vaksin. Berbeda dengan masyarakat Tiongkok yang kolektif
karena dipimpin rezim Partai Komunis yang otoriter, masyarakat Barat terbelah
antara mereka yang mau mematuhi protokol kesehatan Covid-19 dengan mereka yang
menganggap wabah ini rekayasa kaum globalis.
Polarisasi masyarakat Barat kemudian berimbas
pada politik seperti yang terjadi dalam pemilu presiden Amerika dan Perancis.
Dunia politik menjadi terpecah antara mereka yang menerima orde internasional
liberal dengan mereka yang mencoba mendirikan orde populisme. Kita bisa
mengamati bagaimana Amerika hampir mengalami pembangkangan sipil skala nasional
ketika Presiden Donald Trump kalah dari Joe Biden. Presiden Emmanuel Macron
yang menang tipis dari politisi kanan jauh Marine Le Pen, mengulangi pemilu
lima tahun sebelumnya dengan kondisi masyarakat yang tengah mengalami kesulitan
akibat kebijakan ekonomi Emmanuel Macron.
Indonesia Di Tengah Ancaman Krisis Pangan Dan
Kerentanan Kawasan
Saat dunia mengalami krisis politik, ekonomi
dan sosial sebagai dampak konflik global, Indonesia mengalami backwash effect
yang tidak diduga sebagai negara subur di kawasan tropis yaitu kenaikan harga pangan.
Invasi Rusia ke Ukraina membawa dampak kenaikan harga gandum dan minyak dunia,
yang tentu saja berefek pada Indonesia sebagai negara importir gandum untuk
keperluan pangan, dan kenaikan harga minyak berdampak tarif logistik.
Beberapa pengamat menganggap krisis harga
pangan disebabkan kesalahan kebijakan Pemerintah. Misalkan kenaikan harga
minyak goreng disebabkan kebijakan Pemerintah mengalihkan supply kelapa sawit
untuk menghasilkan bahan bakar energi selain konsumsi pangan. Namun tentu saja
pandemi dan krisis politik global adalah faktor utama ketidakstabilan ekonomi.
Bisa dikatakan Pemerintah hampir tak dapat mengendalikan penyebab krisis
tersebut.
Prinsip politik bebas-aktif Indonesia dalam
situasi global hari ini juga membuat banyak negara yang berkepentingan menyeret
kita untuk terlibat menggunakan tekanan. Singapura dan Malaysia dengan tegas
bersekutu dengan Amerika, Inggris dan Australia dalam menyikapi klaim Tiongkok
atas Laut Cina Selatan, berlainan dengan sikap Indonesia yang mengutamakan
penyelesaian di meja diplomasi.
Indonesia mengambil sikap tersebut karena
menjadi salah satu mitra dagang terbesar Tiongkok sejak lama, berbeda dengan
Singapura dan Malaysia yang secara historis dan sosial merupakan sekutu Barat.
Sikap yang sama juga terjadi dalam menyikapi invasi Rusia, jika Singapura
menolak tegas langkah Rusia, seperti apa yang dikatakan PM Lee pada perayaan
hari kemerdekaannya pada awal Mei 2022 lalu.
Indonesia menyesalkan eskalasi konflik
Ukraina menjadi perang tanpa menyebut Rusia sebagai negara penyerang.
Dalam pertemuan antara para pemimpin ASEAN
dengan Presiden AS Joe Biden pada 12 Mei 2022, perbedaan sikap itu tampak
nyata. Pemimpin Singapura dan Malaysia bersikap tegas menolak klaim Tiongkok
tentang Nine Dash Line sementara Indonesia bersikap netral.
Amerika melanjutkan lobi politik menyekat
Tiongkok pada Quadrilateral Meeting di Tokyo pada 24 Mei 2022 dengan pemimpin
Australia, India dan Jepang atau koalisi QUAD.
Dalam hal mempertahankan freedom of
navigation Amerika memang menunjukkan sikap asertifnya. Klaim Tiongkok atas LCS
dipandang sebagai ancaman bagi kepentingan Amerika sebagai kekuatan maritim
dominan di Samudera Hindia dan Pasifik. Oleh karena itu Amerika akan selalu
menekan negara-negara kawasan Asia-Pasifik yang masih bersikap netral untuk
memihak mereka.
Setelah Amerika menggunakan soft-diplomacy
termasuk latihan perang besar-besaran dengan Indonesia pada tahun lalu bertajuk
Garuda Shield, bukan tidak mungkin mereka akan menekan Indonesia secara keras
melalui negara-negara sekutunya seperti Australia, Singapura dan Malaysia agar
menunjukkan sikap memihak Amerika.
Penutup
Bulan Mei adalah bulan suci negara Republik
Indonesia, di mana kita memperingati hari kebangkitan atas kesadaran pentingnya
berdemokrasi dan memiliki kolektifitas kuat sebagai suatu bangsa. Ancaman
krisis pangan, krisis ekonomi yang menyebabkan kerentanan kawasan di depan mata
seharusnya menjadi momentum bagi pemimpin dan masyarakat Indonesia untuk
bersatu merumuskan langkah-langkah ekonomi politik dengan cepat.
Tensi tinggi hasil polarisasi politik global
sudah saatnya diturunkan walau tidak mungkin dihilangkan sebagai konsekuensi
menjalankan prinsip berdemokrasi. Sebagai bangsa yang secara konsekuen mampu
mempertahankan prinsip kemerdekaan berasaskan Proklamasi Kemerdekaan dan
Pembukaan UUD 1945 alinea 4 dalam percaturan politik global selama 77 tahun
merdeka, Indonesia akan mampu menjawab tantangan tersebut. Tentu saja jika para
pemimpin dan masyarakat bersatu, mampu merumuskan langkah prioritas kebangsaan
dan kenegaraan dengan cepat, dan berjalan dengan ketetapan yang ada.
Penulis : Khalid Zabidi, Aktivis 98, Pendiri
Independent Society dan Ketua Bidang PP JMSI