Ketua LDII Kalbar, Susanto SE Saat Ikuti Wabinar Nasional |
PONTIANAKNEWS.COM (JAKARTA) - Guru Besar Universitas Paramadina, Prof Yudi Latif mengingatkan semua pihak, globalisasi menarik bangsa Indonesia ke ideologi-ideologi internasional. Sekaligus menekan balik, sehingga ideologi itu menciptakan perlawanan di tingkat akar rumput.
Hal ini
disampaikan saat didaulat menjadi salah satu pembicara dalam Webinar Nasional
yang diselenggarakan DPP LDII, Minggu 20 Februari 2022.
Webinar yang
bertema “Sosialisasi Perpol No. 1 Tahun 2021 tentang Pemolisian Masyarakat dan
Peningkatan Peran LDII dalam Kerjasama dengan Polri untuk Pembentukan Forum
Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM), dirinya menjabarkan, untuk menjadi rakyat
Indonesia harus memiliki keluasan mental seluas Indonesia, dan memiliki
kekayaan rohani sebanyak dan semajemuk Indonesia.
"Pancasila
mampu menyatukan perbedaan, namun sebagai ideologi negara ia juga tak lepas
dari tantangan akibat globalisasi," jelas dia.
Yudi juga
menjelaskan, Pancasila menggambarkan keragaman Indonesia dari berbagai sisi.
“Sila
pertama menggambarkan keragaman agama, sila kedua menggambarkan keragaman ras
manusia, sila ketiga menggambarkan keragaman etnis, adat, dan budaya, sila
keempat menggambarkan keragaman aliran-aliran dan afiliasi politik, serta sila
kelima menggambarkan keragaman bentuk lampiran hirarki sosial dan peradaban,”
ujarnya.
Menurutnya,
dalam kondisi keterkinian, fenomena globalisasi membawa dua konsekuensi,
pertama globalisasi adalah take away, menarik bangsa dipersatukan dalam
pengaruh internasional, lewat teknologi telematika. Sehingga, pusat global
merembes masuk ke berbagai wilayah, bahkan masuk pada sudut terpencil di dunia,
menghasilkan fenomena global village.
“Akibatnya,
ideologi global merembes masuk nyaris tanpa gatekeeper. Dahulu ulama dan kyai,
bisa menyeleksi dahulu, baru kemudian mana yang diperbolehkan masuk ke
masyarakat, mana yang tidak. Kini dengan teknologi digital, merembet masuk ke
desa,” ungkapnya.
Kedua,
globalisasi bersifat pushdown, menekan bangsa dan negara ke bawah, sehingga
melahirkan luberan. Hal tersebut, membuat Indonesia yang majemuk dikarenakan
tekanan globalisasi tersebut, menghadapi kenyataan pluralisasi eksternal dan
internal,” jabarnya.
Kompleksitas
tersebut membuat, isu yang berkaitan dengan conflict resolution, bagaimana
menjaga ketertiban dan keamanan, mendapatkan tekanan yang sangat serius.
Tekanan terhadap nilai Pancasila, dapat dilihat dari tekanan yang mengalir pada
setiap sila itu sendiri.
“Sila
pertama, mestinya mengajak, apapun perbedaan agama, aliran, dipersatukan
semangat ketuhanan yang welas asih, tapi sekarang, banyak orang mengalami
artikulasi agama, sehingga melahirkan ekspresi yang keras dan mengarah konflik
di akar rumput,” ungkapnya.
Pada sila
kedua, adanya pengaruh globalisasi yang makin intens, dapat menjadikan wilayah
zona konflik.
“Pengaruh
dan berbagai kompetisi persaingan ideologi global, serta jaringan terorisme
bisa merembes, menjadi sel diam di desa-desa,” ujarnya.
Sila ketiga,
Indonesia yang multikultural, mestinya terbiasa mengembangkan sikap hidup
merekatkan persatuan, namun seringkali berkembang sikap monokultural, yang
lebih mengedepankan sesama kubu saja, suku saja, dan aliran agama tertentu
saja.
“Seharusnya,
desa dapat menjadi zona yang relatif aman dan tentram, namun penetrasi pengaruh
global dapat membuat robekan sosial terjadi,” jelasnya.
Pada sila
keempat, globalisasi dapat melahirkan polarisasi masyarakat.
“Elitnya
sudah berangkulan, tetapi sisa pembenturan masih merembes di desa, ternyata
pada pemilu, dapat melahirkan peristiwa perceraian akar rumput, yang dipicu
konflik politik,” ujarnya.
Efek
globalisasi pada sila kelima, karena kesenjangan sosial, ketidakmerataan
pembangunan, dapat melahirkan prasangka, berbagai bentuk kekerasan dan protes
serta kecemburuan sosial.
Yudi
menyambut baik kerja sama Polri dan LDII untuk membentuk FKPM. Dengan Lembaga
itu, masyarakat dan aparat negara dapat membuat titik temu atau common ground,
jika robekan sosial tadi merembes ke desa. Dengan FKPM, bisa dibangun jaringan
konektivitas, persambungan, silaturrahim, dan gotong-royong.
Ia menilai,
LDII memiliki semangat inklusif, bisa membangun konektivitas, menjadi jembatan
katalis pertemuan orang yang beda suku, adat, dapat terkoneksi satu sama lain,
sekaligus membangun kerangka kerjasama dengan berbagai elemen, sehingga dapat
menjadi damai dan harmoni.
Kedua,
kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, ketertiban, keamanan,
kesejahteraan, permodalan, itu penting.
“Seringkali
robekan sosial terjadi karena eksklusivitas, dimana apabila akses ekonomi,
kesehatan dan pendidikan dikuasai oleh golongan tertentu, akan membuat
kecemburuan,” ujarnya.
Webinar
nasional sosialisi FKPM yang dihelat LDII tersebut, diikuti oleh para pengurus
LDII, alim ulama, pimpinan pondok pesantren, unsur kepolisian kewilayahan, DPP,
DPW, dan DPD LDII di 300 lebih studio mini. Acara itu menghadirkan pembicara
Kasubditbitpolmas Korbinmas Harkam Polri Kombes Pol RS.Terr. Pratiknyo, Akademisi
Universitas Paramadina Yudi Latif, Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Desa
Kemendagri Chaerul Dwi Sapta, serta Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistiyono.
(tim liputan).
Editor : Putri