Muhammad Yusrizki: PLN Jangan Sekedar Mengejar Penetrasi EBTw |
PONTIANAKNEWS.COM (JAKARTA) – Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) mengingatkan aspek techno-commercial yang akan dirancang oleh PLN tak sekedar mengejar penetrasi energi baru terbarukan (EBT) sehingga berimbas harga listrik EBT menjadi terlalu tinggi.
Muhammad
Yusrizki, Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan KADIN menyebutkan salah
satu yang menjadi fokus perhatian dunia usaha saat ini adalah aspek techno-commercial
yang tengah dirancang oleh PLN.
Sampai
dengan tahun 2020, PLN diketahui masih memiliki unit PLTD sejumlah 5.200 unit
yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh Indonesia. Menurut data PLN, konsumsi
BBM yang diperlukan di tahun 2020 untuk PLTD ini mencapai 2,7 juta kiloliter
dengan estimasi biaya mencapai Rp 16 triliun. Rancangan Program De-Dieselisasi
selain untuk meningkatkan bauran energi terbarukan, juga untuk menekan konsumsi
BBM yang juga berarti menekan impor energi Indonesia.
PLN
merencanakan akan melakukan konversi PLTD ke pembangkit EBT dengan total
kapasitas pembangkit PLTD sampai dengan 499 MW. Pada tahap pertama, yang akan
dimulai oleh PLN dalam waktu dekat, total kapasitas PLTD yang akan di konversi
mencapai 250MW. Sementara tahap kedua, yang masih dalam kajian PLN, kapasitas
PLTD yang akan di konversi sebesar 249MW.
“Kepentingan
FGD ini untuk mempertemukan PLN, sebagai pemilik proyek, dan dunia usaha yang
nantinya akan menjadi investor bagi program De-Dieselisasi PLN. Salah satu yang
menjadi fokus perhatian dunia usaha adalah aspek techno-commercial yang akan
dirancang oleh PLN, jangan sampai untuk alasan mengejar penetrasi EBT yang
tinggi akhirnya membuat harga listrik EBT akan menjadi terlalu tinggi,” pesan
Yusrizki dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan pembahasan Program
De-Dieselisasi yang direncanakan oleh PLN, di Jakarta, Selasa (15/2/21).
Terkait
aspek techno-commercial, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan
pendapat mereka bahwa sesuai perhitungan AESI, pembagian antara PLTD dengan
pembangkit EBT adalah 50%, dimana pembangkit EBT beroperasi 50% dari jam
operasional PLN. Pembagian 50% ini memberikan penghematan biaya penyediaan
listrik yang paling optimal bagi PLN. Di sisi pengembang pembagian 50%
memberikan keluasaan dalam merancang ukuran kapasitas PLTS dan battery untuk
dapat memberikan performa terbaik dari pembangkit EBT.
PLN juga
menyatakan bahwa untuk mendorong kompetisi dan inovasi, pada proses pengadaan
pembangkit EBT terkait De-Dieselisasi PLN tidak akan membatasi teknologi PLTS
maupun battery. Dengan tidak dikuncinya teknologi, terutama battery, memberikan
ruang bagi pengembang untuk membawa teknologi-teknologi baru tidak terbatas
pada teknologi battery VLRA ataupun lithium, tetapi juga teknologi baru seperti
vanadium redox flow battery yang berkembang menjadi salah satu alternatif bagi
battery skala besar.
Sementara
Wiluyo Kusdwiharto selaku Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT
PLN (Persero) berharap KADIN dapat menjembatani komunikasi dengan Kementrian
Perindustrian sehingga ada fleksibilitas TKDN, khususnya dalam konteks program
De-Dieselisasi. Terkait peraturan TKDN, baik PLN dan KADIN disampaikannya telah
menyatakan bahwa industri nasional tidak boleh hanya menjadi penonton.
“Ketentuan
TKDN yang ada saat ini tidak perlu dihilangkan, kita dukung industri nasional,
tetapi PLN berharap KADIN dapat menjembatani diskusi dengan Kementrian
Perindustrian sehingga ada fleksibilitas TKDN terutama dalam konteks program
De-Dieselisasi ini,” demikian disampaikan Wiluyo Kusdwiharto dalam diskusi.
Dalam
kesempatan itu Yusrizki meyakinkan KADIN mendukung industri nasional sekaligus
harus realistis. Menurutnya saat ini pabrikan lokal mampu memberikan TKDN
hingga 40%-42%, sementara jika mengikuti Peraturan Menteri Perindustrian, per
2022 ini komponen TKDN untuk panel surya harus 60%.
“Sebaiknya
kita tidak berdebat apakah 40%, 50%, atau 60% secara regulasi, tetapi mari kita
sesuaikan regulasi itu dengan realitas yang ada, lalu bersama-sama kit acari jalan
untuk meningkatkan TKDN dan nilai tambah domestik. Program De-Dieselisasi ini
memberikan jalan untuk pasar PLTS yang besar di Indonesia dan regulasi, tidak
hanya ketenagalistrikan tetapi juga regulasi industri, sudah seharusnya
mendukung dan memberikan jalan bagi program PLN,” tambah Yusrizki.
Dalam
keterangan penutupnya, Yusrizki menekankan bahwa Program De-Dieselisasi PLN
telah menjadi sorotan publik, tidak hanya domestik tetapi juga internasional.
“Program De-Dieselisasi ini merupakan program EBT pertama dalam beberapa tahun
dengan kapasitas yang masif dan memiliki kepentingan nasional yang sangat kuat.
Oleh karena itu KADIN mengajak PLN dan dunia usaha untuk bersama-sama mengawal
aspek-aspek techno-commercial sehingga inisiatif PLN ini menjadi inisiatif yang
feasible dan terutama investable,” tutup Yusrizki.(Sumber : Jaringan Media
Siber Indonesia*).
Editor : Putri