PONTIANAKNEWS.COM (RIAU) – Tutup usianya seorang wartawan senior, Almarhum Margiono membuat semua orang kehilangan seorang pewarta yang hebat, dunia jurnalistik kehilangan sosok ini, hal itu disampaikan H Dheni Kurnia, Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Riau 2017-2022 yang juga Ketua JMSI Riau periode 2020-2025.
“Saya dua periode menjadi ketua PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) Provinsi Riau (2007-2017). Saya dua kali juga
dilantik oleh dua orang hebat yang saya sukai dan kagumi gayanya,” ungkapnya.
“Periode pertama, saya dilantik oleh Tarman
Azam (Alm). Periode kedua, saya dilantik oleh Margiono, yang meninggal dunia 1
Februari 2022 lalu. Tapi saya tak lama merasakan kepemimpinan Tarman Azam.
Hanya setahun. Karena 2008 Margiono menggantikan Tarman sebagian Ketua PWI
Pusat. Margiono terpilih menjadi Ketua Umum PWI dua periode, 2008-2018,”
imbuhnya.
H Dheni Kurnia mengatakan masa jabatan
menjadi Ketua PWI Riau, banyak berurusan dengan Almarhum Margiono. Karena
jabatannya hampir bersamaan. Selama H Dheni Kurnia menjabat, Almarhum Margiono sering ke Riau.
“Dalam catatan saya, Margiono enam kali
berkunjung, saat saya undang pada Hari Pers Nasional (HPN) di daerah maupun
pelantikan beberapa PWI di kabupaten dan kota,” ungkapnya lagi.
H Dheni Kurnia mengatakan merasa sangat enak
menjadi ketua PWI di zaman Margiono. Karena saya gak perlu menyiapkan segala
kebutuhan pejabat pusat PWI itu.
“Saya gak perlu menyiapkan tiket pesawat,
hotel, maupun hal-hal kecil lainnya. Dia sering tak mau dibayarin tiket.
Apalagi minta pesawat kelas satu atau hotel berbintang. Karena lebih suka bayar sendiri, atau sudah ada yang
mengurusnya. Maklum, dia juga "pejabat tinggi" di Jawa Pos Grup,
media milik JPNN yang cukup menjamur di Riau,” jelasnya.
“Terkadang malah saya gak tahu Margiono sudah
sampai ke Riau. Karena tiba-tiba sudah menelepon; "Dheni, kamu
dimana?". Saya bilang saya di kantor. "Kita ketemuan ya. Dimana makan
yg enak," katanya. Dalam kekagetan saya, ternyata dia sudah sampai di
Riau, sehari sebelum acara yang saya gelar dimulai. Mengenai makan, Margiono
memang pemakan yang hebat. Dia bisa menghabiskan setengah kilo patin ikan
pedas, sekali duduk”.
Terkadang pula, saya tidak tahu dia sudah
pulang ke Jakarta, tanpa memberitahu saya. Beberapa kali, usai acara dia minta
izin. Katanya mau ke rumah saudaranya. Margiono memang punya banyak saudara
sekampungnya, Tulungagung Jatim, di Pekanbaru. Kemudian, ketika saya hubungi,
teleponnya tak aktif. Malamnya dia kontak bahwa sudah sampai Jakarta. Dia
pulang sendiri, tanpa kami urus.
Jika dia ke Riau, beberapa kali pula, saya
mendapat "hadiah tak terduga" dari beberapa bupati di Riau. Satu
ketika, ada peringatan HPN Provinsi yang dipusatkan di Tembilahan Kabupaten
Indragiri Hilir (Inhil). Margiono ikut hadir. Usai acara, Bupati Inhil
menitipkan oleh-oleh dan kertas tertutup ukuran besar buat Margiono. Tapi
ketika saya beritahu padanya, dia bilang; "Simpan aja buat kamu."
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Siak
dan Kabupaten Rokan Hilir. Semua yang dititipkan pejabat daerah untuk Margiono,
semuanya pula diserahkan kepada saya. Tapi sesampai di Pekanbaru dia
mengatakan; "Lain kali kalau saya ke Riau, bilang sama bupati atau
siapapun, jangan nitip-nitip buat saya." Hahaha. Terlambat mas, jawab
saya.
Sebenarnya, saya sudah lama mengenal
Margiono. Tahun 1991 hingga 1993, saya bertugas di Harian Surya Surabaya,
jaringan media milik Harian KOMPAS Grup di daerah. Ketika itu, Margiono sudah
jadi wartawan hebat di Jawa Pos, Surabaya.
Saat itu, saya mengenalnya sebagai
pribadi yang hangat, bersahabat dan
guyonan. Bicaranya serius, tapi sering membuat saya terpingkal. Beberapa kali
juga, saya ditraktir makan olehnya. Selalu, jika bersama Margiono, saya gak
pernah membayar. Saya selalu kalah dulu, jika soal bayar membayar dibanding
Margiono. Padahal waktu itu, "persaingan" antara Jawa Pos dan Harian
Surya, cenderung "berdarah-darah". Saya menyebut kata berdarah,
karena ada yang tewas di jalanan saat mobil koran yang membawa Jawa Pos
menyalip mobil Surya, sehingga terjadi insiden yang menewaskan beberapa orang.
Tahun 1999, saya berhenti dari Persda (Pers
Daerah) KOMPAS. Saya kemudian diterima bekerja di Harian Sumatera Ekspres,
Palembang Sumsel, yang tergabung di JPNN (Jawa Post News Network). Saya
menelepon Margiono. Saya katakan, bahwa saya kini menjadi anak buahnya. Tapi
dia menjawab; "Dari dulu kan saya sudah jadi bos kamu. Karena saya sering
bayarin kamu makan." Kemudian dia tertawa. Candanya kadang keterlaluan.
Karena hanya membayari saya ngopi dan makan, dia dah mengaku sebagai atasan
saya.
Beberapa tahun setelah itu (2005) saya pulang
kampung ke Riau. Saya minta berhenti dari JPNN. Pada pemilihan ketua PWI Riau
tahun 2007, saya maju dan saya menang. Saya dilantik oleh Tarman Azam, yang
seluruh biaya perjalanannya mulai dari tiket, hotel sampai oleh-oleh ditanggung
oleh PWI Riau.
Ketika 2008, Margiono maju sebagai ketua PWI
Pusat yang Kongresnya dilaksanakan di Banda Aceh. Sebagai Ketua PWI Riau, saya
tentu memiliki suara untuk memilih. Margiono mendatangi saya ke kamar. Ketika
itu, saya bersama Zufra Irwan (juga pengurus PWI Riau). Margiono kemudian duduk
di lantai kamar hotel. Kami jadi sungkan. Tapi dia santai aja. Malah dengan
gayanya, dia mengatakan, apakah saya masih mengenal bosnya?
Margiono kemudian terpilih menjadi Ketua PWI
Pusat lima tahun ke depan. Bahkan 2013 dia terpilih kembali menjadi Ketua PWI
hingga 2018. Dan, selama itu pulalah saya merasa sangat lega menjadi Ketua PWI
Riau. Dia menghapuskan iuran kartu anggota. Dia tidak menganjurkan melayani
pengurus PWI Pusat yang berkunjung ke daerah. Dia menekan saya untuk membangun
kantor PWI Riau yang representatif. Dia meminta saya jangan takut ditekan siapa
saja sebagai Ketua PWI. "Kamu hanya boleh takut pada saya," katanya
sambil tertawa lebar.
Begitulah. Ketika jabatan saya berakhir
sebagai Ketua PWI Riau, setahun setelah itu Margiono pun lengser. Dan saya tak
pernah berjumpa lagi hingga akhirnya saya mendapat kabar dia meninggal dunia
karena Covid 19.
Saya terhenyak, ketika membaca kabar duka
itu. Lama saya termenung. Kenapa bisa covid mengalahkan Margiono yang hebat.
Apakah tak ada penyakit lain yang lebih mulia, yang mengantarkannya ke liang
lahat. Mungkin hanya Allah SAW yang tahu. Karena itu memang hak prerogatif Yang
Maha Kuasa. Saya hanya sedih teringat kebaikan, profesionalitas dan gaya
kepemimpinannya. Meski kelak saya dan teman-teman lainnya akan menyusul
Margiono, tapi hari ini, kami benar-benar kehilangan.
Karena Margiono, memanglah wartawan hebat.
Tak kalah oleh waktu, pengetahuan, jabatan dan profesionalisme. Di mata saya,
sejak mengenalnya 1991, dia seorang yang mampu menerobos dunia jurnalistik
hingga puncaknya. Dia seorang wartawan yang gigih, tak pernah menyerah, santun,
berkarakter, mengayomi, penghibur, mau berkorban, meski kadang kata-katanya
agak nyeleneh.
Sebagai wartawan gigih, tangguh dan tak
pernah menyerah, saya tahu Margiono bersama teman-temannya ikut melebarkan
sayap Jawa Pos di seluruh pelosok tanah air. Bahkan kemudian, ketika berdiri
membangun Harian Rakyat Merdeka, tiang bendera yang dipancangkannya berkibar
hingga kini.
Sebagai pemimpin, dia terampil dan tidak pernah menyalahkan siapapun. Dia
memimpin organisasi wartawan terbesar dan tertua, nyaris tak ada gugatan. Dia
salah satu tonggak dalam mengangkat harkat dan martabat organisasi serta
wartawan. Pernah pula Margiono jadi Wakil Ketua Dewan Pers di masa Prof Bagir
Manan. Di zamannya, tak pernah ada organisasi lain yang berani mengotak-atik
dan mengecilkan peran Dewan Pers.
Memang dia pernah gagal. Tapi itu bukan
bidangnya. Bukan profesinya sejak awal. Tahun 2018, dia pernah maju sebagai
bupati di daerah kelahirannya. Namun dia dikalahkan oleh seorang yang diduga
koruptor. Belakangan dia tersadar, dan balik ke pangkal jalan.
Dan. Sebagai penghibur, saya sudah
membuktikan, dia mampu membuat banyak orang tertawa, minimal tersenyum. Ini
mungkin bakat alam atau karena dia penyuka grup lawak Srimulat di era muda.
Atau pula karena dia seorang dalang yang memiliki selera humor tinggi.
Bahkan, saat menjadi Ketua PWI Pusat, orang
selalu menunggu-nunggu pidatonya setiap tahun di HPN. Pidato yang ringan,
menyentil, kadang menusuk, tapi bisa membuat orang terbahak, termasuk Presiden
RI. Guyonannya, menurut saya, adalah salah satu daya tarik HPN, untuk wartawan
tetap hadir.
Kini saya hanya bisa berdoa agar Almarhum
husnul khotimah. Diampunkan Alllah dosa-dosanya, dan dibalas segala
kebaikannya. Bertetes air mata kesedihan saya, mungkin bisa diteguknya di Surga
Allah.
Saya ingin menuliskan juga satu pantun yang
disampaikan Margiono pada acara di rumah Gubernur Riau, Anas Makmun. Ketika itu
dia mengucapkan terimakasih atas pembangunan
Kantor PWI Riau oleh Pemerintah
Provinsi Riau (2009-2012) dengan dana hampir 14 miliar rupiah. Kata Margiono;
Ikan hiu terjerat ranjau/Thank you Pak Gubernur Riau. * (Sumber : Jaringan
Media Siber Indonesia)
H. Dheni Kurnia, Ketua PWI Riau (2007-2017),
Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Riau 2017-2022, Ketua JMSI Riau
2020-2025.*