Orkestrasi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia |
PONTIANAKNEWS.COM (ACEH) - Firli Bahuri yang merupakan orang pertama menggunakan diksi ini dalam konsepsi Pemberantasan korupsi. Diksi orkestrasi bukan saja memiliki makna estetik, tapi juga mengandung nilai dan pesan bahwa korupsi yang massif dan berjamaah harus pula dilawan dengan berjamaah secara sistematis dan terorganisir dalam satu frekuensi oleh seluruh pemangku kepentingan bangsa ini.
Agar
orkestrasi menghasilkan simfoni yang indah, maka ia harus dipimpin seorang konduktor yang
mengarahkan pertunjukan dengan gerakan tangan dan lengan, sering lebih mudah
bagi para musisi untuk melihat dengan menggunakan tongkat konduktor. Konduktor
menyatukan orkestrasi, mengatur tempo dan membentuk suara ensemble.
Konsepsi
Firli ini harus dimaknai bahwa
pemberantasan korupsi tidak akan berhasil hanya ditangan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian semata. Lebih
dari itu, pemberantasan korupsi harus melibatkan media dan elemen strategis lainnya.
Lebih jauh
dan esensi dari itu, Firli ingin mengatakan bahwa tanpa pemimpin yang kuat
sebagai konduktor maka pemberantasan korupsi hanya menjadi utopia. Padahal
sejak 1998 pemimpin nasional yang berkarakter antikorupsi merupakan mimpi dan
harapan masyarakat.
Memperhatikan
aksi Firli, dari beberapa pimpinan KPK terdahulu, kerap kita menyaksikan keputusannya tidak populis, bahkan melawan kehendak publik. Yang paling
kontras, saat firli melakukan tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK
yang kemudian menjadi polemik karena TWK ini dianggap sebagai alat untuk “memecat” Novel Baswedan cs.
Firli
bergeming, belakangan dalam perjalanannya kinerja KPK yang tadinya disinyalir
akan melempem tanpa Novel, terbukti masih bergigi. Operasi Tangkap Tangan (OTT)
pasca TWK terus berlanjut, bahkan seorang hakim yang diduga melakukan jual beli
perkara diringkus.
Menariknya,
di era Firli, penindakan bukanlah satu-satunya prioritas dalam menjalankan
agenda pemberantasan korupsi. Dalam banyak kesempatan kita menyaksikan Tim
pencegahan KPK keliling daerah guna memperkuat agenda pencegahan korupsi. Tidak
saja mengawal lahirnya agenda aksi daerah
pemberantasan korupsi, lebih dari itu, KPK juga melakukan pengawalan
dalam pelaksanaannya, terutama membangun sistem yang efektif dan kuat dalam
mencegah terjadinya korupsi.
Kenapa
demikian, karena Ketua KPK ini meyakini
korupsi ini terjadi bukan saja karena perilaku koruptif, tapi karena sistem yang lemah, buruk bahkan
gagal. Firli berkeinginan membangun desain sistem antikorupsi yang komprehensif
sebagai warisan bagi bangsa ini. Ia
tidak ingin KPK hanya sebagai pemadam kebakaran, tapi lebih dari itu KPK
sebagai alat mencapai tujuan bernegara.
Sejalan
dengan pemikiran Robert Klitgaard yang mempopulerkan CDMA Theory,
bahwa
korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak
dibarengi dengan akuntabilitas.
Inilah
kenapa dalam berbagai kesempatan Firli secara terus menerus menyerukan
sekaligus mengajak agar media yang merupakan salah satu pilar demokrasi untuk
melakukan kolaborasi dalam satu gerakan besar “perang” melawan korupsi.
Karenanya
Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) yang pada 8 Februari 2022 ini baru
menapaki usia yang ke 2 perlu merespon hal ini. Ajakan Firli ini tidak saja
strategis tapi merupakan suatu kehormatan untuk disahuti oleh JMSI.
Kenapa JMSI
yang dipilih oleh Firli? Ada dua hal yang menjadi kunci yaitu kedekatan
personal antara Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa dan Firli Bahuri. Serta keberadaan JMSI yang saat ini sudah
eksis di 31 provinsi dengan jumlah
anggota aktif lebih dari 1000an perusahaan pers.
Dengan
luasan wilayah yang dapat dijangkau oleh JMSI ini, maka kerja-kerja pencegahan dan pendidikan
antikorupsi akan lebih mudah diwujudkan. Karena tanpa kolaborasi ini maka
akselerasi pemberantasan korupsi akan berjalan lambat. Padahal mewujudkan
Indonesia yang bebas dan bersih dari korupsi dibutuhkan kerja cepat dan terukur.
Dengan
demikian, JMSI harus pula segera merespon
ajakan Ketua KPK ini dalam sebuah agenda aksi, terutama dalam dua
kluster yaitu kluster pencegahan dan kluster pendidikan antikorupsi bagi
masyarakat.
Dalam aspek
pencegahan ini, perusahan pers dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik telah
melakukan fungsi watchdog terutama dalam kamar kekuasaan legislatif dan
eksekutif. Hanya saja kerja-kerja jurnalistik ini belum dilakukan secara
terpola dan sistematis. Sementara untuk
kamar kekuasaan yudikatif dan partai politik belum begitu menonjol.
Kesempatan
sudah dibuka oleh ketua KPK, saatnya ajakan ini di respon dengan melakukan
reorientasi pada kerja-kerja jurnalistik yang hanya sekedar menyajikan
informasi, tapi lebih esensi dari itu, media harus menjadi alat perjuangan
untuk mengubah warna dan arah kebijakan dalam kamar kekuasaan legislatif,
eksekutif, yudikatif dan partai politik.*( Akhiruddin Mahjuddin adalah Sekretaris
JMSI Aceh).
Editor : Putri