Ketua KPK RI, Firli Bahuri Bersama Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa |
PONTIANAKNEWS.COM (JAKARTA) – Pasa Januari 2022 KPK berhasil mengungkap tiga kasus di eksekutif, satu di yudikatif. Itu kecil, kata Ketua KPK, Firli Bahuri. Pemberantasan korupsi mustahil hanya ditangani KPK. "Harus berupa orkestra," katanya.
Itu dikatakan Firli di hadapan ratusan anggota
Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) pimpinan Teguh Santosa, yang CEO jaringan
media massa online, Rmol, di Bandung, Jumat (21/01/2022).
Sebab, korupsi di Indonesia terlalu parah.
Ratusan, bahkan ribuan koruptor ditangkap, pun korupsi tidak surut.
Orkestra Pemberantasan Korupsi, menurut
Firli, ibarat orkestra musik. Peniup terompet memainkan dengan gayanya. Pemain
drum menggebuk drum dengan caranya. Semua pemusik di orkestra memainkan alat
musik masing-masing.
Firli: "Tapi, lagunya sama. Satu lagu dimainkan
oleh pemain orkestra."
Firli mengutip Gone Theory karya Jack
Bologne. Yang menyebut ada empat dasar terjadinya korupsi, begini:
1) Greed (keserakahan). Keserakahan pelaku
korupsi, yang pada dasarnya ada pada semua manusia.
2) Opportunity (kesempatan). Sistem yang
memberi lubang terjadinya korupsi. Terkait kondisi organisasi, instansi,
lembaga, yang membuka kesempatan bagi pelaku korupsi.
3) Need (kebutuhan). Sikap mental yang merasa
tidak pernah cukup. Bersikap konsumerisme. Sarat dengan kebutuhan yang tidak
pernah usai.
4) Exposure (hukuman koruptor yang ringan).
Tidak menimbulkan efek jera terhadap calon koruptor. Sehingga, ada koruptor
tertangkap tangan, pun masih juga banyak yang korupsi.
Itulah Gone Theory (Greed, Opportunity, Need,
Expose).
"Corruption Becauso of Fail, Bad and
Weak System" (Bologne, Jack, Gone Theory).
Rinciannya: Fail (gagal). Kegagalan sistem
mencegah peluang korupsi. Bad (buruk). Yang berarti sistemnya butuk. Weak
(lemah). Kelemahan ini membuat orang ingin korupsi.
Firli bicara itu di depan tokoh pers JMSI,
sebab menurutnya, pers bisa berperan lebih besar dalam pemberantasan korupsi.
Berita pers mampu membangun opini publik pembaca, membangun budaya
anti-korupsi.
Ia mengutip prakata pembuka di acara JMSI
itu. Yang disampaikan Ketua JMSI, Teguh Santosa. Bahwa pers anggota JMSI wajib
berperan positif bagi Indonesia.
Firli lantas mengutip tujuan negara
Indonesia, berdasar Alinea keempat, Pembukaan UUD 1945. Pers Indonesia harus
mengacu ke situ.
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia.
2) Memajukan kesejahteraan umum.
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Firli menegaskan pernyataan Teguh, bahwa pers
JMSI seharusnya mengarah ke tujuan negara Indonesia yang sudah disepakati para
founding fathers tersebut.
Firli: "Jadi, kalau ada berita pers
bersifat ujaran kebencian, pecah-belah bangsa, hoaks, maka sangat jauh dari
tujuan negara Indonesia."
Pemberantasan korupsi, jelas melindungi
segenap bangsa Indonesia. Sekaligus juga memajukan kesejahteraan umum.
Sedangkan pers, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ada empat lokasi kamar korupsi. Di eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan Partai Politik.
Di tiga kamar pertama, sudah jelas. Sangat
sering koruptor dari kamar-kamar itu tertangkap tangan KPK. Terbaru, hakim di
Pengadilan Negeri Surabaya.
Sedangkan, di nomor empat (Partai Politik)
jarang disinggung. Padahal, di sana marak transaksional. Kader Parpol untuk
bisa jadi ketua DPP, DPW, DPC, transaksional. Kader ikut pilkada,
transaksional.
Firli: "Berdasar survei kami, 82,83
persen para kader Parpol transaksional. Baik di dalam lembaga partai, maupun ke
Pilkada. Ini politik biaya tinggi."
Lebih parah lagi, biaya Pemilu yang begitu
besar, ditanggung sponsor. "Inilah embrio korupsi. Yang membuat
penangkapan koruptor tak habis-habisnya, sekarang."
Tanpa banyak teori, Firli akan mengajak pers
ikut masuk, mengawal jalannya sistem di empat kamar tersebut. "Apakah Anda
siap?" tanyanya. Dijawab serentak: "Siap..."
Dikutip dari dokumen Partnership for
Transparency, yang mengutip Majalah Fund for Peace and Foreign Policy, Juni
2013, korupsi parah menjadikan negara gagal.
Dalam indeks yang diterbitkan waktu itu, ada
10 negara gagal akibat korupsi, versi majalah tersebut. Paling parah Somalia.
Disusul Kongo. Kebanyakan negara-negara Afrika dan Afghanistan. Indonesia tidak
termasuk.
Di situ disebut, negara gagal gegara korupsi,
karena negara tidak mampu lagi membuat rakyat hidup sejahtera. Sebab, kekayaan
negara dikorup para pejabat publik.
Di semua urusan pelayanan publik, masyarakat
harus membayar kepada petugas penyelenggara negara, yang mestinya melayani
rakyat. Akhirnya, rakyat terpuruk dalam kemiskinan. Kian besar korupsi, kian
parah kemiskinan rakyat.
Di Nigeria, yang terburuk dalam layanan
publik. Dicatat USD 530 juta (Rp7,59 triliun) per tahun dana pemerintah untuk
membayar“pekerja hantu”. Atau orang yang memasukkan nama mereka ke daftar gaji
pemerintah, dan menerima gaji, tanpa bekerja.
Di Indonesia, beberapa waktu lalu terungkap,
ribuan pegawai negara yang sudah mati, tetap menerima gaji. Cuma, mungkin, ini
tak terpantau Partnership for Transparency, sehingga tak terpublikasi
internasional.
Tapi, Majalah Fund for Peace and Foreign
Policy, menyebutkan ini:
"Di Jakarta, Lima (ibukota Peru), Manila
dan Nairobi, orang miskin membayar lima sampai sepuluh kali lebih banyak untuk
air, dibanding rekan-rekan mereka yang kaya.”
Tidak ada rincian untuk kutipan tersebut.
Bisa ditafsirkan, pemerintah Jakarta tidak mampu memberikan air minum gratis
bagi seluruh warga.
PDAM hanya (menjual) air tidak keruh. Tapi
bukan air minum manusia sehat. Sedangkan di negara-negara yang tidak korup,
mampu memberikan air minum gratis kepada rakyat mereka.
Hanya dari air minum ini saja, pemerintah
sudah tidak mampu memenuhi tujuan negara Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan
negara. Berdasar Alinea keempat Pembukaan UUD 1945:
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia (dari muntaber akibat minum dan masak dari air
tidak keruh).
2) Memajukan kesejahteraan umum (sudah cukup
maju, tapi masih banyak yang miskin).
Maka, tausiah Firli di atas bagai meluruskan
kondisi bangsa kita yang kini melenceng. Marak dengan ujaran kebencian,
bermotif politik, meraih kekuasaan.
Walaupun, bagi pelaku ujaran kebencian,
tausiah itu bagai debu tertiup angin. Tak berbekas. (Penulis : Djono W Oesman, wartawan
senior di Jakarta).
Editor : Putri