Teguh Santosa: ASEAN adalah Keajaiban |
PONTIANAKNEWS.COM (CARACAS) - Organisasi negara-negara Asia Tenggara, ASEAN, merupakan salah satu organisasi kawasan yang paling stabil dan dinamis, dan diyakini dapat menjadi model bagi kawasan lain di dunia.
Walau berbagai
persoalan masih kerap terjadi di antara negara-negara anggota, namun secara
umum mekanisme yang diadopsi ASEAN dapat menciptakan kawasan yang stabil dan
damai.
Demikian
antara lain penilaian yang disampaikan Ketua Umum Jaringan Media Siber
Indonesia (JMSI) Teguh Santosa ketika berbicara di Konferensi ASEAN-Venezuela
di PDVSA La Estancia, La Floresta, Caracas, Kamis pagi (25/11).
Wakil
Menteri Luar Negeri Venezuela, Capaya Rodriguez Gonzales, dan Duta Besar
Indonesia untuk Venezuela Imam Edy Mulyono memberikan sambutan di awal
konferensi.
Duta Besar
Vietnam Le Viet Duyen dan Chargé d’Affaires Malaysia Mohammed Raizul Nizam bin
Zulkiffli juga hadir dalam kegiatan tersebut.
Sebelum
menghadiri Konferensi ASEAN-Venezuela, Teguh Santosa lebih dahulu
berpartisipasi sebagai pemantau pemilu lokal di Venezuela yang berlangsung hari
Minggu kemarin (21/11). Teguh juga ikut memantau pilpres Venezuela tahun 2018
lalu.
Selain Teguh
Santosa, sejumlah pembicara lain dalam konferensi yang diselenggarakan secara
hybrid itu adalah Joanne Lin dari Pusat Studi ASEAN di Institut Studi Asia
Tenggara, Singapura, dan Bunn Nagara seorang analis politik independen dari
Malaysia. Joanne Lin dan Bun Nagara hadir secara virtual melalui rekaman video.
Sementara pembicara lainnya berasal dari berbagai lembaga Venezuela.
“Karena
posisi geografisnya yang unik, Asia Tenggara sejak lama menjadi titik
persimpangan sekaligus pertemuan berbagai peradaban juga berbagai kepentingan
di dunia,” ujar mantan Wakil Presiden Konfederasi Wartawan ASEAN (CAJ) ini.
Dia
menambahkan, negara-negara ASEAN memetik pelajaran yang begitu berharga dari
pengalaman hidup di bawah penjajahan di masa lalu. Karena itu negara-negara
ASEAN menolak keras praktik penjajahan satu bangsa terhadap bangsa lain.
“ASEAN
mengimplementasikan mekanisme dialog yang ketat dan bersahabat dalam upaya
memecahkan persoalan yang ada,” sambung dosen hubungan internasional
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini.
ASEAN
didirikan pada 8 Agustus 1967 oleh lima negara Asia Tenggara, yakni Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Di dalam perjalanannya, Brunei
Darussalam bergabung pada 7 Januari 1984, disusul oleh Vietnam (28 Juli 1995),
lalu Laos dan Myanmar (23 Juli 1997), dan Kamboja (30 April 1999).
Multilateralisme
ASEAN
Teguh
menyinggung “keajaiban” ASEAN yang didasarkan pada perbedaan yang ada di antara
negara-negara anggota ASEAN.
Disebut
keajaiban karena sesungguhnya kesepuluh negara anggota ASEAN memiliki perbedaan
untuk banyak hal. Beberapa di antaranya adalah republik, dan beberapa lainnya
adalah kerajaan.
Beberapa
mempraktikkan sistem presidensial, beberapa mempraktikkan sistem
parlementarian. Anggota ASEAN ada yang menganut nilai demokrasi, sosialisme,
juga ada juncta militer. Juga ada negara kesatuan, ada negara federalis.
Terlepas
dari berbagai perbedaan tersebut, satu yang pasti, negara-negara anggota ASEAN
percaya pada multilateralisme.
Proses
pengambilan keputusan di ASEAN didasarkan pada pertimbangan kepentingan
bersama, tanpa mengabaikan kepentingan nasional.
“Pendekatan
perdamaian dan harmoni adalah semangat bersama yang selalu dibawa dalam setiap
forum. Karena itu, unilateralisme atau janggoisme dengan sendirinya tidak
memiliki tempat di kawasan,” masih kata Teguh sambil menambahkan pendekatan ini
bermanfaat di saat ASEAN berada di tengah persaingan global, seperti antara
AUKUS dan Belt and Road Initiative.
Melihat apa
yang telah dilakukan dan dikembangkan ASEAN dalam rangka menjaga perdamaian dan
stabilitas kawasan, Teguh pada bagian akhir mengatakan, dirinya percaya model
ASEAN, dengan berbagai catatan, dapat diandalkan dan dijadikan contoh oleh
kawasan-kawasan lain. [Sumber : Jaringan Media Siber Indonesia].
Editor : Putri